-->
g2QFCKwavghUp2yzjKrIFwEeG13RASCerFTCMH35

Relasi Antar Manajemen

proyek
Manajemen relasi juga terkait dengan kemampuan memberdayakan setiap orang yang terkait dengan kita (stake holder), sehingga interaksi kita bisa bersifat efektif dalam dimensi manfaat/fungsi dan dimensi psikis (sebuah interaksi yang menyenangkan).  Inilah yang oleh Steven Covey disebut sebagai interdependency, sebuah proses tumbuh bersama.  Bukan sebuah ketergantungan yang berlangsung terus-menerus antar satu pihak ke pihak lainnya.
Ketika setiap relasi berlangsung dengan win-win maka kita bisa mengharapkan munculnya sinergi dalam setiap relasi, dan mengurangi peran kita sebagai penyelamat (karena ada pihak lain yang mengalami masalah), penolong (karena adanya over dependency).
Dalam konteks kantor, manajemen relasi yang baik akan membuat staf kita tidak terlalu tergantung pada kita dan kita bisa menjaga hubungan dengan atasan yang saling menghargai, sehingga produktivitas di tempat kerja bisa terus ditingkatkan


Mengelola Relasi Antar Divisi
Pada dasarnya, dalam sebuah organisasi, adanya divisi harus merasa bahwa departemennya lebih penting. Divisi itu harus memberi kontribusi lebih besar daripada divisi yang lain. Karena itu, kesadaran bahwa tiap divisi adalah bagian penting dari sebuah organisasi atau perusahaan, menimbulkan persaingan antar divisi/departemen.
Dikatakan Wijaya Hartono, SE, MBA, pakar manajemen Universitas Ciputra Surabaya, pada talkshow Inspirasi Solusi di radio Suara Surabaya, sebenarnya tidak ada divisi yang tidak penting atau lebih penting. Sehingga, masing-masing akan terintegrasi menjadi satu-kesatuan dalam gerak langkah perusahaan atau organisasi. Tapi yang penting diperlukan adalah skill komunikasi antar divisi. Karena dalam komunikasi ada fungsi pengawasan, motivasi, pengungkapan emosi dan saling memberikan informasi.
Tapi kalau komunikasi kurang baik, akan menjadi sumber konflik, baik secara pribadi, antar divisi, maupun antar organisasi. Efeknya bisa sangat meluas akibat dari komunikasi yang kurang mengenai sasaran ini. Mungkin tidak bisa dipungkiri bila kerap terjadi adanya divisi yang merasa paling penting dibanding divisi lainnya dalam sebuah perusahaan. Hal ini nantinya akan memicu timbulnya konflik-konflik horizontal yang tidak perlu, sebenarnya.
Tapi kalau pun terjadi konflik, sebenarnya bisa dikelola menjadi energi yang besar untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan. Bukankah konflik itu bisa muncul dari perbedaan budaya atau bahasa, beda persepsi atau informasi, dan mungkin juga karena perbedaan ekspektasi. Yang terpenting kemudian bagaimana mengelola adanya konflik itu agar bisa menjadi sumber energi untuk meraih impian perusahaan.
Begitu pula sebaliknya, timbulnya konflik itu bisa mengakibatkan gagalnya mencapai goal dari suatu organisasi atau perusahaan. Agar konflik antar divisi ini bisa menghasilkan energi positif, ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
Pertama, menghindari konflik. Diantara divisi yang potensial konflik, harus ada pihak yang bersikap untuk lebih menghindari konflik. Ada divisi yang harus berusaha membekukan konflik untuk sementara.
Kedua, kompromi. Sikap ini bisa ditempuh bila komunikasi antar divisi bisa terjalin baik. Bahwa masing-masing divisi merasa perlu menjaga hubungan baik, dan itu lebih penting untuk meraih tujuan yang lebih utama. Masing-masing pihak rela mengorbankan sebagian kepentingannya untuk meraih win win solution.
Ketiga, berkolaborasi. Menciptakan win win solution dengan saling bekerja sama. Keunggulan masing-masing divisi disatukan, bukan sebaliknya ingin saling menjatuhkan.
Keempat, berkompetisi. Tindakan ini dilakukan bila kepentingan sendiri lebih diutamakan di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses bila situasi membutuhkan pengambilan keputusan dengan cepat. Tentu saja, situasi menang-kalah akan terjadi mengiringi tindakan ini. Tapi upaya yang harus ditempuh sebesar-besarnya harus tercipta win win solution bila memilih tindakan ini.
Kelima, memilih cara akomodatif. Jadi salah satu pihak mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapatkan keuntungan dari situasi konflik tersebut. Tindakan ini sering disebut self sacrifying behavior. Menjaga hubungan baik menjadi hal utama dalam tindakan ini.
Ada sebuah penelitian mengungkapkan, manajer menghabiskan waktu 80% dari total waktu kerja untuk interaksi verbal dengan orang lain. Jadi dibutuhkan fungsi leadership yang baik dari seorang pemimpin sebuah divisi. Di situ, seni berkomunikasi sangat penting, baik kepada sesama leader, kostumer, kolega maupun dengan bawahan.
Manajer atau pimpinan, dengan komunikasi yang baik, harus bisa mengarahkan ritme kerja sebuah divisi, agar tidak menimbulkan konflik yang bisa mengakibatkan kontraproduktif. Hal-hal penyebab kontraproduktif diantaranya batasan pekerjaan yang tidak jelas, komunikasi terhambat, standar peraturan dan kebijakan yang tidak masuk akal, harapan yang tidak terwujud dan semacamnya.
Dengan demikian, fungsi manajer harus bisa mengayomi dalam divisinya, sehingga pertikaian antar pribadi tidak terjadi. Kalau cara berkomunikasi seorang manajer tidak baik, tidak saja akan menimbulkan konflik horizontal dalam divisi, tapi akan meluas kepada antar divisi lainnya.
Tentu peran untuk menciptakan kondisi yang kondusif itu dibebankan kepada seorang manajer tiap divisi. Dan, perusahaan juga mempunyai tanggung jawab dan peran untuk mendukung terciptanya suasana kondusif bagi tiap divisi dalam sebuah perusahaan. Peran dan tanggung jawab perusahaan itu antara lain harus membangun kebersamaan, memberi insentif yang jelas, memberi arahan yang jelas dan terukur, dan menampilkan leadership yang baik. SUmber :majalahscg-com dan produktivitasdiri.co-id











Related Posts

Related Posts

Post a Comment